A.
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Suatu
perekonomian disuatu negara sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor –
faktor tersebut sangat menentukan bagi suatu negara dalam pertumbuhan dan
baiknya suatu tatanan perekonomian. Pemerintah sebagai pusat yang membuat
kebijakan – kebijakan harus dapat mengendalikan perekonomian. Beberapa
diantaranya adalah Inflasi. Inflasi adalah suatu kenaikan harga – harga.
Inflasi bisa diakibatkan oleh kebijakan – kebijakan yang diambil oleh
pemerintah.
Negara
– negara berkembang dan miskin sangat rentan terhadap inflasi, sedikit saja
pemerintah salah menetapkan kebijakan atau kurang tanggap terhadap perkembangan
perekonomian global, maka terjadilah inflasi. Indonesia adalah salah satu
negara berkembang, sebagai salah satu negara berkembang Indonesia pernah
mengalami berbagai level inflasi, mulai dari tingkat ringan hingga sampai
tingkat hyper inflasi.
Dalam
mengatasi inflasi ada 2 cara dalam mengatasinya, yaitu dengan cara kebijakan
moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter menurut Prathama
(2008:249) adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro ke
kondisi yang diinginkan dengan mengatur jumlah uang beredar (JUB). Sedangkan
kebijakan fiskal adalah kebijakan ekonomi yang digunakan pemerintah untuk
mengelola/mengarahkan perekonomian ke kondisi yang lebih baik dengan cara
mengatur jumlah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Ke dua kebijakan
tersebut digunakan dalam rangka menstabilkan perekonomian indonesia, kebijakan
moneter dibuat oleh gubernur bank Indonesia (BI) sedangkan kebijakan fiskal
dilakukan oleh pemerintah.
Oleh karena itu saya tertarik untuk menulis tentang “Kebijakan
Moneter di Indonesia”. Dalam rangka melanjutkan penulisan saya mengenai Dampak
Inflasi di Indonesia.
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Pengertian Kebijakan Moneter
2.
Instrument Kebijakan Moneter
3.
Jenis Kebijakan Moneter
4.
Tujuan Kebijakan Moneter
5.
Laporan
Hasil dari Kebijakan Moneter dalam Triwulan III tahun 2013
B. Pembahasan
1.
Pengertian Kebijakan Moneter
Menurut Prathama (2008:249) adalah upaya
mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan
dengan mengatur jumlah uang beredar (JUB).
Menurut Nopirin adalah tindakan
yang dilakukan oleh penguasa moneter (biasanya bank sentral) untuk mempengaruhi
jumlah uang beredar dan kredit yang pada gilirannya akan mempengaruhi kegiatan
ekonomi masyarakat (Nopirin, 1992:45). Bank sentral adalah lembaga yang
berwenang mengambil langkah kebijakan moneter untuk mempengaruhi jumlah uang
beredar.
Menurut
Iswardono merupakan salah satu
bagian integral dari kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter ditujukan untuk
mendukung tercapainya sasaran ekonomi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan, dan keseimbangan neraca
pembayaran (Iswardono, 1997 : 126).
Kebijakan
moneter adalah kebijakan dari otoritas moneter (bank sentral) dalam bentuk
pengendalian agregat moneter (seperti uang beredar, uang primer, atau kredit
perbankan) untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan.
Perkembangan perekonomian yang diinginkan dicerminkan oleh stabilitas harga,
pertumbuhan ekonomi, dan kesempatan kerja yang tersedia.
Kebijakan
moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi
secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk
mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur
keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat
terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam
pasokan/distribusi barang. Kebijakan
moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada
instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi
dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam
uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Kebijakan
moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai
tujuan tertentu; seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih
sejahtera. Kebijakan moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman,
“margin requirement”, kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai
peminjam usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan
pemerintah lain.
Kebijakan
moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi
secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk
mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur
keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat
terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam
pasokan/distribusi barang. Kebijakan
moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada
instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi
dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam
uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter adalah kebijakan yang dibuat oleh
gubernur BI yaitu Bpk. Agus Martowardoyo (saat ini), dengan tujuan menstabilkan
perekonomian dan dengan cara mengatur jumlah uang beredar (JUB) melalui
berbagai instrumennt yang ada. Instrumen tersebut adalah operasi pasar terbuka,
fasilitas diskonto, dan cadangan wajib minimum dan himbauan – himbauan.
2.
Instrument Kebijakan Moneter
Menurut
Prathama (2008:249) instrumen kebijakan moneter adalah operasi pasar terbuka,
fasilitas diskonto, dan cadangan wajib minimum yang bersifat kuantitatif
dan himbauan moral yang bersifat
persuasif.
2.1
Operasi Pasar Terbuka (Open Market
Operation)
Operasi
Pasar Terbuka (Open Market Operation)
adalah pemerintah mengendalikan jumlah uang yang beredar (JUB) dengan cara
menjual atau membeli surat – surat berharga pemerintah.
Jika
pemerintah ingin mengurangi jumlah uang beredar (JUB), maka pemerintah menjual surat
– surat berharga (open market selling).
Dengan demikian maka jumlah uang yang beredar akan berkurang.
Jika
pemerintah ingin menambah jumlah uang beredar maka pemerintah akan membeli
surat – surat berharga (open market
buying). Dengan demikian maka jumlah uang yang beredar akan bertambah.
Bank
Indonesia telah mengembangkan kedua instrument tersebut dengan mengembangkan
fasilitas repurchase agreement (repo)
ke masing – masing instrument sehingga dikenal dengan SBI repo atau SPBU repo.
Tentu
saja kebijakan ini dilakukan bila jumlah uang beredar sudah mengganggu
stabilitas perekonomian.
2.2
Faslitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas
yang diberikan bagi bank – bank umum dalam meminjam dana ke bank Indonesia,
dengan tingkat bunga tertentu yang sudah ditetapkan.
Jika
pemerintah ingin menambah jumlah uang yang beredar maka pemerintah akan
menurunkan tingkat suku bunga pinjaman, dengan demikian maka jumlah uang yang
beredar di masyarakat akan bertambah. Sedangkan jika pemerintah ingin mengurang
jumlah uang beredar maka pemerintah akan menaikkan tingkat suku bunga, dengan
demikian maka jumlah uang yang beredar dimasyarakat akan berkurang.
2.3
Cadangan Wajib Minimum (Reserve
Requirement Ratio)
Cadanagan
wajib minimum adalah cadangan wajib yang harus ditaruh bank – bank umum dalam
bank Indonesia, agar sewaktu – waktu jika bank itu bangkrut maka ada dana
jaminan untuk simpanan nasabah.
Dalam
hal ini pemerintah bisa memainkan cadangan wajib untuk mengatur jumlah uang
beredar (JUB). Jika pemerintah ingin menambah uang yang beredar maka pemerintah
akan menurunkan cadangan wajib minimum, namun sebaliknya jika pemerintah ingin
mengurangi jumlah uang yang beredar (JUB) maka pemerintah akan menaikkan
cadangan wajib minimum.
2.4
Himbauan Moral
Himbauan moral adalah himbauan – himbauan seperti
gubernur bank Indonesia memberi saran kepada bank – bank umum agar berhati –
hati dalam memberikan kredit kepada masyarakat.
3.
Jenis Kebijakan Moneter
a.
Kebijakan
Moneter Ekspansif (Monetary expansive policy)
Adalah suatu
kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat
(permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi.
Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)
b.
Kebijakan
Moneter Kontraktif (Monetary contractive policy)
Adalah suatu
kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan
kebijakan uang ketat (tight money policy)
4.
Tujuan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia memiliki tujuan
untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana
tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia.
Hal yang dimaksud dengan
kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga
barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut,
sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan
inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting
Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free
floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai
stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan
kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan,
bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank
Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan
sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan
utama menjaga sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut
menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar
uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan
cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank
Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan
Prinsip Syariah.
5.
Laporan Hasil dari Kebijakan Moneter dalam Triwulan III
tahun 2013
Berdasarkan data
yang saya dapatkan dari situs www.bi.go.id, maka didapatkan hasil sebagai
berikut yaitu Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank
Indonesia pada 8 Oktober 2013 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada
level 7,25%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility
tetap pada level 7,25% dan 5,50%. Bank Indonesia
akan mencermati perkembangan perekonomian global dan nasional serta akan mengoptimalkan
bauran kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memastikan bahwa tekanan
inflasi tetap terkendali, stabilitas nilai tukar Rupiah terjaga kondisi
fundamentalnya, serta defisit transaksi berjalan menurun ke tingkat yang
sustainable. Bank Indonesia juga akan terus memperkuat koordinasi dengan
Pemerintah khususnya dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan.
Bank Indonesia meyakini bahwa kebijakan-kebijakan tersebut serta berbagai
kebijakan yang telah ditempuh sebelumnya akan mempercepat penyesuaian defisit
transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat dan mengendalikan inflasi menuju
ke sasaran 4,5±1% pada 2014.
Bank Indonesia mencermati
perekonomian global cenderung melambat dan diliputi oleh ketidakpastian yang
tinggi. Kinerja perekonomian di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat (AS), Eropa dan Jepang belum kuat meski mulai
menunjukkan perbaikan. Sementara itu, perekonomian negara berkembang dibayangi
risiko penurunan pertumbuhan ekonomi serta menurunnya kinerja transaksi
berjalan dan pelemahan nilai tukar. Pada saat yang sama, penurunan harga
komoditas masih terus terjadi, kecuali harga minyak. Di pasar keuangan,
sejumlah risiko terkait dengan penundaan kebijakan pengurangan stimulus The Fed
(tapering), perdebatan debt ceiling dan penghentian sementara layanan
pemerintah AS (government shutdown). Secara keseluruhan, melalui jalur
perdagangan perkembangan perekonomian global tersebut memberikan tekanan pada
kinerja ekspor negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sementara itu,
melalui jalur keuangan perkembangan tersebut dalam jangka sangat pendek
mendorong masuknya aliran dana nonresiden ke bursa saham dan obligasi kawasan
serta menguatnya mata uang Asia.
Sejalan dengan pelemahan ekonomi
global yang masih berlanjut, kinerja perekonomian domestik menunjukkan
kecenderungan yang melambat. Perekonomian domestik
diprakirakan tumbuh 5,6% di Triwulan III-2013 dan untuk 2013 masih berada pada
kisaran 5,5%-5,9%. Kinerja ekonomi global yang masih melambat dan pergerakan
harga komoditas yang masih cenderung menurun, mendorong masih terbatasnya
kinerja ekspor. Konsumsi rumah tangga dan investasi diprakirakan masih tertekan
sebagai dampak dari menurunnya daya beli akibat tingginya tekanan harga pasca
kenaikan harga BBM bersubsidi. Kinerja perekonomian nasional diprakirakan akan
membaik pada tahun 2014, sejalan dengan perekonomian global dan harga komoditas
yang diprakirakan membaik. Secara keseluruhan, perekonomian Indonesia
diprakirakan tumbuh lebih tinggi mencapai 5,8% - 6,2%.
Dari sisi eksternal, kinerja
Neraca Pembayaran Indonesia pada triwulan III-2013 diprakirakan akan membaik. Defisit transaksi berjalan akan menyempit terutama dengan menurunnya
impor seiring dengan melemahnya permintaan domestik dan dampak pelemahan nilai
tukar Rupiah. Di sisi lain, surplus Transaksi Modal dan Finansial (TMF) akan
lebih besar, seiring kembali masuknya investor asing pada SBI dan SUN serta
berkurangnya net jual asing atas saham domestik sebagai respon kebijakan Bank
Indonesia dan Pemerintah serta penundaan tapering off di AS. Dengan
perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir September 2013 diprakirakan
menjadi 95,7 miliar dolar AS, meningkat dari posisi akhir Agustus 2013 sebesar
93,0 miliar dolar AS. Cadangan devisa pada akhir September tersebut setara
dengan 5,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Nilai tukar rupiah pada triwulan
III 2013 mengalami depresiasi sejalan dengan nilai fundamentalnya. Secara rata-rata, rupiah melemah 8,18% (qtq) ke level Rp 10.652 per dolar
AS atau secara point to point rupiah terdepresiasi 14,29% (qtq) ke level Rp
11.580 per dolar AS. Seperti halnya pelemahan mata uang negara-negara di
kawasan Asia, depresiasi nilai tukar rupiah terutama dipengaruhi penyesuaian
kepemilikan nonresiden di aset keuangan domestik dipicu sentimen terkait
pengurangan (tapering off) stimulus moneter oleh the Fed. Dari sisi
fundamental, tekanan depresiasi rupiah lebih besar dengan relatif tingginya
defisit transaksi berjalan di Indonesia. Pada akhir triwulan III 2013 tekanan
rupiah berkurang sejalan dengan membaiknya kinerja inflasi dan neraca
perdagangan serta sentimen positif penundaan tapering off oleh the Fed.
Keyakinan pasar valas semakin pulih dengan permintaan dan penawaran yang
semakin aktif dan berimbang dalam membentuk nilai tukar rupiah di pasar. Bank
Indonesia memandang bahwa perkembangan nilai tukar pada saat ini menggambarkan
kondisi fundamental perekonomian Indonesia.
Tekanan inflasi mereda dan
mencatat deflasi 0,35% (mtm) atau 8,40% (yoy) pada September 2013. Pasokan yang melimpah beberapa komoditas hortikultura, terutama bawang
merah dan cabai, menyebabkan koreksi harga pangan tercatat cukup dalam. Selain
itu, mulai turunnya harga daging sapi juga mendorong deflasi lebih lanjut
sehingga kelompok volatile food mencatat deflasi 3,38% (mtm) atau inflasi
13,94% (yoy). Meredanya tekanan inflasi bulanan juga terjadi pada kelompok inti
dan administered prices, masing-masing mencapai 0,57% (mtm) atau 4,72% (yoy)
dan 0,34% (mtm) atau 15,47% (yoy), seiring meredanya dampak kenaikan harga BBM
dan koreksi harga paska Lebaran. Terkendalinya harga-harga tersebut sejalan
dengan perkiraan Bank Indonesia bahwa inflasi akan sangat rendah dan kembali ke
pola normal mulai September dan bulan-bulan ke depan. Prospek tekanan inflasi
yang menurun juga dipengaruhi dampak perlambatan permintaan domestik serta
langkah-langkah penguatan koordinasi kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah
dalam pengendalian inflasi. Dengan perkembangan tersebut, inflasi 2013
diprakirakan berada pada kisaran 9,0% - 9,8%, dan kemudian menurun pada kisaran
sasaran 4,5±1% pada tahun 2014.
Stabilitas sistem keuangan tetap
terjaga dengan dukungan ketahanan industri perbankan yang tetap solid di tengah
berbagai tekanan. Rasio kecukupan modal (CAR/Capital
Adequacy Ratio) tetap tinggi mencapai 17,89%, jauh di atas ketentuan minimum
8%, sedangkan rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) tetap terjaga
rendah sebesar 1,99% pada bulan Agustus 2013. Hasil stress testing baik dari
sisi likuiditas, kredit maupun permodalan juga menunjukkan ketahanan industri
perbankan yang kuat terhadap berbagai risiko seperti perlambatan ekonomi,
kenaikan suku bunga dan depresiasi nilai tukar Rupiah. Sementara itu,
pertumbuhan kredit mulai menunjukkan perlambatan, meski pada Agustus 2013 masih
cukup tinggi sebesar 22,2% (yoy). Pertumbuhan kredit terutama karena penarikan
kredit dari komitmen sebelumnya, disamping pengaruh perhitungan nilai tukar,
sementara komitmen kredit baru terus menurun. Ke depan, Bank Indonesia
memperkirakan pertumbuhan kredit akan melambat seiring dengan kenaikan suku
bunga, perlambatan permintaan domestik dan kebijakan makroprudensial yang
ditempuh oleh Bank Indonesia.
6.
Analisis...
Berdasarkan
laporan hasil kebijakan moneter dalam triwulan III tahun 2013. Dinyatakan bahwa
hasil atau respon dari kebijakan moneter adalah sisi baiknya meredanya tekanan
inflasi, neraca pembayaran indonesia membaik dan stabilnya sistem keuangan dan
ketahanan industri perbankkan, sedangkan sisi buruknya adalah masih melambatnya
kinerja perekonomian domestik dan nilai rupiah yang mengalami depresiasi.
Hal ini diakibatkan
oleh dikeluarkannya 4 paket kebijakan moneter yaitu Pertama,
BI mengeluarkan instrumen sertifikan deposito Bank Indonesia (SDBI). Surat
berharga ini bertenor 3-9 bulan. Instrumen ini dapat diperdagangkan antar bank.
Akan tetapi, SDBI ini tidak bisa diperdagangkan kepada pihak asing. Modelnya
adalah lelang. Kedua,
BI memperluar jangka waktu term deposit (TD) Valas menjadi 1 hari-12 bulan.
Sebelumnya, TD valas bertenor 7,14 dan 30 hari. Ketiga, instrumen
reswap, instrumen ini berkaitan
dengan transaksi derivatif bank terkait dengan pada nasabah bank atau pihak
terkait. Keempat,
BI melakukan perluasan underlying pembelian valas bagi eksportir berupa dokumen
penjualan hasil ekspor. Jangka waktu underlying itu maksimal 6 bulan dan batas
maksimum pembelian valas US$200 juta.
C. Kesimpulan
Jadi dapat
disimpulkan bahwa kebijakan
moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang
diinginkan dengan mengatur jumlah uang beredar (JUB).
Kebijakan moneter tidak bisa asal di keluarkan begitu
saja, melainkan harus melihat beberapa instrument yang ada. Beberapa instrument
itu adalah operasi pasar terbuka, politik diskonto, dan cadangan kas minimum
yang bersifat kuantitatif dan himbauan – himbauan yang bersifat persuasif.
Dengan beberapa instrument tersebut pemerintah bisa
memainkan peranannya dalam mengatur jumlah uang yang beredar (JUB), yaitu
dimana jika pemerintah ingin mengurangi jumlah uang yang beredar (JUB) dalam
rangka mengurangi inflasi, maka pemerintah akan melakukan kebijakan – kebijakan
yang akan mengakibatkan berkurangannya jumlah uang beredar sebagaimana yang
tertulis diatas pada bagian instrumen – instrumen kebijakan moneter, kebijakan
ini disebut kebijakan uang ketat/kebijakan kontraktif. Sedangkan jika
pemerintah ingin menambah jumlah yang beredar dalam rangkan menambah daya beli
masyarakat atau menambah lapangan kerja maka pemerintah akan melakukan
kebijakan – kebijakan yang akan mengakibatkan bertambahnya jumlah uang beredar
sebagaimana yang tertulis diatas pada bagian instrumen – instrumen kebijakan
moneter, kebijakan ini disebut kebijakan uang longgar/kebijakan ekspansif.
Kemudian jika diperhatikan sebagaimana laporan triwulan hasil dari Kebijakan Moneter
dalam Triwulan III tahun 2013, maka apa yang dilakukan pemerintah tergolong
berhasil dan sesuai dengan teori yang ada dimana dengan dikeluarkannya 4 paket
kebijakan moneter indonesia seperti yang tertulis diatas dapat mengakibatkan
berkurangnya inflasi dan stabilnya perekonomian indonesia.
Daftar Pustaka
BI.
Tujuan Kebijakan Monter. http://www.bi.go.id/web/id/Moneter/Tujuan+Kebijakan+Moneter/.
Diakses pada tanggal 12 November 2013.
Iswardono. 1994.
Uang dan Bank Edisi 4. Yogyakarta: BPFE\
Kustianto,
Bambang dan Rudy Badrudin. 1993. Ekonomi Makro Seri Dikat Kuliah. Depok:
Universitas Gunadarma.
Rahardja, Prathama. Uang dan Perbankan. Jakarta: Rineka Cipta.
Rahardja, Pratahma dan Mandala Manurung.2008. Teori
Ekonomi Makro Suatu Pengantar Edisi Keempat. Depok: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Ekonomi.