Kamis, 24 April 2014

Bank Syariah



1.     Pengertian Bank Syariah

Menurut UU No 10 1998 bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah BAB I Ketentuan Umum pada Pasal 1 menjelaskan bahwa Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sedangkan Bank Syariah adalah Bank yang menjalakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum konvensional yang berfungsi sebgai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan diluar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. Kantor Cabang adalah kantor cabang bank Syariah yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi kantor cabang tersebut melakukan usahanya.
 Menurut Muhammad, bank Syariah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah riba atau bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Berbeda dengan bank Islam, bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.
Menurut Pertaatmaja dan Antonio menjelaskan bahwa, bank Syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, yaitu bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan al-Quran dan hadis. Hal ini dapat juga diartikan sebagai bank yang dalam operasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syariah islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara islam. Bank yang beroperasi pada prinsip-prinsip syariah islam adalah tata cara itu dijauhi praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan. Sedangkan bank yang tata cara operasinya mengacu pada al-Quran dan hadis adalah bank yang tata cara operasinya mengikuti suruhan dan larangan yang tercantum dalam al-Quran dan hadis.
Menurut Susilo, Triandaru dan Totok mendefinsikan bank Syariah sebagai bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan menggunakan imbalan atas dasar prinsip syariah yaitu jual beli dan bagi hasil.
Menurut Karnaen A. Perwataatmadja dan H. M. Syafi’I Antonio, bank Islam atau bank Syariah adalah Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan al-Qura’an dan Hadits.
Bank syariah merupakan lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil melalui aktivitas kegiatan usaha (investasi, jual beli, atau lainnya) berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai syariah yang bersifat makro maupun mikro.
Nilai-nilai makro yang dimaksud adalah keadilan, maslahah, sistem zakat, bebas dari bunga (riba), bebas dari kegiatan spekulatif dan yang non produktif seperti perjudian (maysir), bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (gharar), bebas dari hal-hal yang rusak atau tidak sah (bathil) dan penggunaan uang sebagai alat tukar. Sementara itu, nilai-nilai mikro yang harus di miliki oleh pelaku perbankan syariah adalah sifat-sifat mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah saw, yaitu shidiq, amanah, tablig dan fathonah.
Jadi berdasarkan paparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa bank syariah adalah bank yang dalam menjalankan operasinya berdasarkan atas prinsip-prinsip syariah yang bebas dari riba dan menggunakan prinsip jual beli serta sesuai dengan ajaran Rasulullah saw.

2.     Landasan Hukum Perbankan Syariah

a.     Al-Qur’an

Kegiatan perbankan yang dilakukan di bank konvensional tidak sesuai dengan syariah Islam dikarenakan adanya praktek riba dan praktek terlarang lainnya. Sehingga para Ulama termotivasi untuk mendirikan Perbankan Syariah di Indonesia berdasarkan firman Allah SWT pada Q. S. al-Baqarah ayat 275, sebagai berikut :
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila, Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Berdasarkan ayat ini para ulama Indonesia mendirikan bank bebas bunga tersebut karena Allah telah menjelaskan bahwa riba itu haram dan jual beli itu adalah halal. Selain itu, Allah juga menjelaskan bahwa memakan harta sesame dengan jalan yang bathil itu juga dilarang. Allah SWT berfirman dalam Q. S. an _ Nissa’ Ayat 29, sebagai berikut :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Ayat ini menjelaskan bahwa tidak dibolehkannya memakan harta sesama kita dengan jalan yang dilarang oleh Allah SWT, seperti riba, maisir, tadlis, gharar dan sebagainya karena perbuatan itu merugikan salah satu pihak. Dan masih banyak lagi ayat – ayat al-Qur’an yang menjadi landasan berdirinya Perbankan Syariah.
     
b.    Hadist

Pelarangan riba tidak hanya merujuk pada al-Qur’an, selain itu, al-Hadits juga menjelaskan bahwa riba itu dilarang. Hadits berfungsi menjelaskan lebih lanjut tentang ayat-ayat al-Qur’an sehingga lebih spesifik. Seperti sabda Rasulullah saw, sebagai berikut : “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, utang karena riba harus dihapuskan. Modal ( uang pokok ) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita atau mengalami ketidakadilan.”
Hadits ini merupakan amanat terakhir pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah bahwa Rasulullah saw. Masih menekankan bahwa Islam melarang praktek riba tersebut.

c.      Fatwa MUI/DSN tentang Perbankan Syariah

Dewan Syariah Nasional selanjutnya disebut DSN dibentuk pada tahun 1997 yang merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli 1997. DSN merupakan lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia dipimpin oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Berpedoman kepada PT Muamalat Indonesia yang menjadikan akad mudharabah dan musyarakah sebagai akad produknya maka Fatwa DSN menerbitkan Fatwa DSN No. 7/DSN-MUI/IV/2000, yang kemudian menjadi pedoman pada praktek Perbankan Syariah. Dalam nomor tersebut sebutkan: “Lembaga keuangan Syariah sebagai penyedia dana, menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disnegaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.”





d.    Peraturan Bank Indonesia

PBI yang secara khusus merupakan peraturan pelaksana dari UU No.21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dan telah diundangkan hingga saat ini yaitu:
1.        PBI No. 10/16/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.
2.        PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang produk bank syariah dan Unit Usaha Syariah.
3.        PBI No. 10/18/PBI/2008 tentang rekonstruksi pembiayaan bagi bank syariah.
4.        PBI No. 10/23/PBI/2008 tentang perubahan kedua atas PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang giro wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing bagi bank umum yang melaksanaan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
5.        PBI No. 10/24/PBI/2008 tentang perubahan kedua atas PBI No. 8/21/PBI/2008 tentang penilaian kualitas aktiva bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdsarkan prinsip syariah.
6.        PBI No. 10/32/PBI/2008 tentang komite perbankan syariah.
7.         PBI No. 11/3/PBI/2009 Tentang Bank Umum Syariah pada Ketentuan Umum pasal 1 menjelaskan :
a.       Bank adalah Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah ;
b.      Kantor Cabang yang selanjutnya disebut KC adalah kantor bank yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas sesuai dengan lokasi KC tersebut melakukan usahanya.
c.       Dan seterusnya.

3.     Asas, Tujuan, dan Fungsi Bank Syariah

Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdsarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah.
Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Fungsi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib menjalankan fungsi sebagai intermediasi yaitu menghimpun dan menyalurkan dana masyarkat, serta dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga Baitul Mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak dan sedekah, hibah, atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Kemudian Bank Syariah dan UUS ini juga berfungsi menghimpun dana social yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (Nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakah (wakif).

4.     Sejarah Bank Syariah

Di Indonesia umat Islam sudah lama mendambakan berdirinya Bank Islam yaitu sejak tahun 1937. K.H. Mas Mansur sebagai ketua pengurus besar Muhammadiyyah periode 1937- 1944 mengeluarkan pendapatnya mengenai penggunaan jasa bank konvensional yang terpaksa dilakukan karena umat Islam belum mempunyai lembaga keuangan sendiri yang bebas riba.
Gagasan pendirian Bank Syariah di Indonesia gencar kembali pada tahun 1970-an. Dimana pembicaraan Bank Syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia – Timur Tengah pada tahun 1974 dan 1976 dalam seminar yang diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu – Ilmu Kemasyarakatan dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan pemikiran tentang perlunya umat Islam di Indonesia memiliki Perbankan Islam mulai sejak itu, seiring munculnya kesadaran kaum Intelektual dan cendikiawan muslim dalam memberdayakan ekonomi masyarakat.  Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan mengenai hukum bunga bank dan hukum zakat dengan pajak dikalangan para ulama, cendikiawan, dan intelektual muslim.
Namun, gagasan yang diperjuangan oleh kaum intelektual dan cedikiawan muslim ini tidak berjalan dengan lancar sesuai yang telah direncanakan mereka karena adanya faktor penghambat dari pendirian Bank Islam tersebut. Adapun faktor penghambat pendirian bank Islam tersebut adalah :
1.    Operasi bank syariah yang menerapkan bagi hasil belum diatur karena itu tidak sejalan dengan undang – undang pokok perbankan yang berlaku, yakni Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1967.
2.    Konsep bank syariah dari segi politik berkonotasi ideologis, merupakan bagian dari atau berkatian dengan konsep Negara Islam, oleh karena itu tidak dikehandinya pendirian bank Islam oleh pemerintah.
3.    Masih dipertanyakannya siapa yang bersedia menaruh modal dalam ventura semacam ini, semantara pendirian bank baru dari timur tengah masih dicegah, antara pembatasan pendirian bank asing yang ingin membuka kantornya di Indonesia.
Di awal tahun 1980-an kembali digelar lagi diskusi yang begitu gencarnya yang bertemakan mengenai Bank Syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan kembali. Dimana tokoh yang terlibat dalam pegelaran diskusi ini adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A. M. Saefuddin, dan M. Amien Azis. Sebagai uji coba gagasan perbankan Islam dipraktikkan dalam skala relatif terbatas, diantaranya di Bandung pada lembaga Bait At-Tamwil Slaman ITB dan di Jakarta pada Koperasi Ridho Gusti. Sehingga M. Darwam menulis dalam sebuah buku bahwa bank Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan bunga (riba), serta menjawab tantangan bagi kebutuhan  pembiayaan guna pemgembangan usaha ekonomi masyarakat yaitu dengan menerapkan sistem mudharabah, musyarakah dan murabahah.
Namun, diskusi itu juga belum memberikan kabar gembira bagi umat muslim atas tekad pendirian bank Islam di Indonesia. Kemudian gagasan ini muncul kembali pada tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Okteber (Pakto) yang berisi leberalisme Industri Perbankan. Pada saat itulah para ulama Indonesia berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum untuk dijadikan dasar pendiriannya, kecuali bahwa bank dapat menetapkan bunga sebesar 0%. Sehingga gagasan masih gagal dilakukan oleh para ulama di Indonesia.
Pada tahun 1990, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan secara mendalam. Majelis Ulama Indonesia ( MUI) melaksanakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa barat  pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Lokakarya ini menghasilkan terbentuknya kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia berdasarkan Munas IV MUI. Dan kelompok kerja ini dikenal dengan Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.[13] Dan hasil kerja Tim Perbankan MUI berhasil mendirikan PT Bank Muamala Indonesia (BMI).

5.     Akad dalam Bank Syariah

a.     Akad Tabarru
Akad Tabarru yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong sesama dan murni semata-mata mengharap ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari return, ataupun suatu motif. Yang termasuk katagore akad jenis ini diantaranya adalah Hibah,  Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn  dan Qirad.

1.      Hibah
Pengertian Hibah adalah pemilikan terhadap sesuatu pada masa hidup tanpa meminta ganti. Hibah tidak sah kecuali dengan adanya ijab dari orang yang memberikan, tetapi untuk sahnya hibah tersebut menurut Imam Qudamah dari Umar bahwa sahnya hibah itu tidak disyaratkan pernyataan qabul dari si penerima hadiah.
Hal ini berdasarkan hadits bahwa Ibnu Umar berhutang unta kepada say Umar ra, Rosululloh berkata kepada sayUmar ra dengan mata beliau.say  Umar ra berkata; Unta itu untukmu wahai Rosululloh saw. Rosululloh saw berkata: “Unta itu untukmu wahai Abdulloh bin Umar, pergunakanlah sesuka hatimu”. Disini tidak ada pernyataan qabul dari nabi ketika menerima pemberian unta, juga tidak ada pernyataan qabul dari ibnu Umar ketika menerimanya dari Rosululloh saw.

2.      Ibra

Menurut arti kata Ibra sama dengan melepaskan, mengikhlaskan atau menjauhkan diri dari sesuatu. Menurut istilah Fiqh Ibra adalah pengguguran piutang dan  menjadikannya milik orang yang berhutang. Menurut syari’at Islam Ibra merupakan salah satu bentuk solidaritas dan sikap saling menolong dalam kebajikan yang sangat dianjurkan  syari’at Islam, seperti dikemukakan dalam firman Alloh dalam surat al-Baqarah ayat 280 yang artinya : “Dan jika seseorang (yang berhutang itu) dalam kesukaran maka berilah ia tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau seluruh hutang itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.

3.      Wakalah

Al-Wakalah menurut bahasa Arab dapat dipahami sebagai at-Tafwidh. Yang dimaksudkan adalah bentuk penyerahan, pendelagasian atau pemberian mandat dari seseorang kepada orang lain yang dipercayainya. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini wakalah yang merupakan salah salah satu jenis akad yakni pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.

4.      Kafalah
Pengertian kafalah menurut bahasa berati al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan (kaafil) bertanggungjawab  atas pembayaran kembali suatu utang  yang menjadi hak penerima jaminan (makful).

5.      Hawalah
Pengertian kafalah menurut bahasa berati al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan (kaafil) bertanggungjawab  atas pembayaran kembali suatu utang  yang menjadi hak penerima jaminan (makful).


6.      Rahn
Pengertian kafalah menurut bahasa berati al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan (kaafil) bertanggungjawab  atas pembayaran kembali suatu utang  yang menjadi hak penerima jaminan (makful).

7.      Qirad
Qard bermakna pinjaman sedang al-hasan berarti baik. Maka Qardul Hasan merupakan suatu akad perjanjian qard yang berorientasi sosial untuk membantu meringankan beban seseorang yang membutuhkan pertolongan. Dalam perjanjiannya, suatu Bank Syari’ah sebagai kreditor memberikan pinjaman kepada pihak (nasabah) dengan ketentuan penerima pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian akad dengan jumlah pengembalian yang ketika pinjaman itu diberikan.

b.     Akad Tijari
Akad Tijari adalah akad yang berorientasi pada keuntungan komersial ( for propfit oriented) Dalam akad ini masing-masing pihak yang melakukan akad berhak untuk mencari keuntungan. Di dalam Bank Syari’ah biasanya yang termasuk kelompok akad ini diantaranya; Murabahah, Salam, Istisna, Musyarakah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah muntahiya bittamlik, Sharf, Muzaraah, Mukhabarah dan Barter.



1.      Murobahah
Dalam perbankan Islam, Murobahah merupakan akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati bersama.

2.      Mudhorobah
Secara teknis Mudhorobah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100 %) modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudhorobah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Landasan syari’ah antara lain al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 20, Surat al-Jumu’ah ayat 10 dan surat al-Baqoroh ayat  198. Dari Al-Hadits riwayat Thabrani dan Ibnu majah serta Ijma para sahabat.
Secara umum  Mudhorobah terbagi kepada dua jenis, pertama mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
Yang dimaksud mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul mal dengan mudharib yang cakupannya sangat luas dan dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
Sedangkan mudhorobah muqayyadah adalah kebalikan dari mudhorobah muthlaqoh. Si mudhorib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini biasanya mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.

3.      Ijaroh
Pengertian secara etimologi ijaroh disebut juga al-ajru (upah) atau al-iwadh (ganti). Ijarah disebut juga sewa, jasa atau imbalan. Sedangkan menurut Syara’ Ijaroh adalah salah satu bentuk kegiatan Mu’amalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa dan mengontrak atau menjual jasa, atau menurut Sayid Sabiq; Ijaroh ini adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
Menurut Ulama Fiqh Imam Hanafi Ijarah adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.  



             













A.    Jurnal Pendukung
1.      Penelitian yang dilakukan oleh Ghozali Maski dengan judul Analisis Keputusan Nasabah Menabung: Pendekatan Komponen dan Model Logistik Studi Pada Bank Syariah di Malang tahun 2010 menyatakan keputusan nasabah dalam memili h atau ti dak memilih bank syariah dalam menabung dipengaruhi oleh variabel kar akteristik bank syariah, variabel pelayanan dan kepercayaan pada bank, variabel pengetahuan dan variabel obyek fisik bank.
2.      Penelitian yang dilakukan oleh Yessy Artanti dan Lestari Ningsih dengan Judul Pengaruh Penanganan Keluhan terhadap Loyalitas Nasabah PT. Bank Muamalat Indonesia, TBK. dengan Kepuasan Nasabah sebagai Variabel Perantara (Studi pada Nasabah Bank Muamalat Cabang Surabaya) tahun 2010 menyatakan penanganan keluhan berpengaruh terhadap loyalitas nasabah dengan kepuasan nasabah sebagai variabel perantara.
3.      Penelitian yang dilakukan oleh Irmayanti Hasan dengan judul Pengaruh Relationship Marketing Nasabah Bank Syariah di Kota Malang menyatakan variabel relationsihip marketing yang terdiri belonging, communication, costumization, differentiation, personalization, security, and convience berpengaruh terhadap costumer orientation.










B.    Daftar Pustaka

Artanti, Yessy dan Lestari Ningsih. 2010. Pengaruh Penanganan Keluhan terhadap Loyalitas Nasabah PT. Bank Muamalat Indonesia, TBK. dengan Kepuasan Nasabah sebagai Variabel Perantara (Studi pada Nasabah Bank Muamalat Cabang Surabaya). Availabel at http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/1823/2.%20YESSY%20ARTANTI.pdf?sequence=1. Diakses pada tanggal 7 Maret 2014.
Hasan, Irmayanti. Pengaruh Relationship Marketing Nasabah Bank Syariah di Kota Malang. Available at http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/ekonomi/article/view/243/pdf_145. Diakses pada tanggal 7 Maret 2014.
Herman. 2013. Sejarah Perbankan Syariah di Indonesia. http://campuzherman.blogspot.com/2013/10/sejarah-perbankan-syariah-di-indonesia.html. Di akses pada tanggal 7 Maret 2014.
Maski, Ghozali. 2010. judul Analisis Keputusan Nasabah Menabung: Pendekatan Komponen dan Model Logistik Studi Pada Bank Syariah di Malang.  http://www.jiae.ub.ac.id/index.php/jiae/article/view/120/147. Diakses pada tanggal 7 Maret 2014.  
Putra, Eka. Jenis – Jenis Akad dalam Bank Syariah. http://alapalapingintaubat.blogspot.com/p/jenis-jenis-akad-dalam-perbankan.html. Di akses pada tanggal 7 Maret 2014.
Referensi Makalah. 2013. Pengertian Bank Syariah. http://www.referensimakalah.com/2013/02/pengertian-bank-syariah.html. Di akses pada tanggal 7 Maret 2014.
Rizal. 2013. Bank Syariah Prinsip Tujuan dan Fungsi Perbankan. http://abdrizalsmile.blogspot.com/2013/04/bank-syariah-pengertian-prinsip-tujuan.html. Di akses pada tanggal 7 Maret 2014.

Direct and Indirect Speech

Indirect Speech

Indirect speech (sometimes called reported speech), doesn't use quotation marks to enclose what the person said and it doesn't have to be word for word.
When reporting speech the tense usually changes. This is because when we use reported speech, we are usually talking about a time in the past (because obviously the person who spoke originally spoke in the past). The verbs therefore usually have to be in the past too.

Direct Speech

Saying exactly what someone has said is called direct speech (sometimes called quoted speech). Here what a person says appears within quotation marks ("...") and should be word for word.

Example:
              Direct speech                                                               Indirect speech
"I'm going to the cinema", he said.                       He said he was going to the cinema.


1.     Change in Structure Sentence

Example:
a.     “ ” to That or to

No
Direct Speech
Indirect Speech
01
He said, "I have a present for you in my bag."
He said that he had a present for me in his bag.
02
He asked me, "why do you come late."
He asked me why I came late.
03
He orderd me, "don't bring a bag."
He ordered me to didn't bring a bag.

b.    Yes or no question to if/whether

No
Direct Speech
Indirect Speech
01
They asked me, "Do you want to join us to play football?"
They asked me if/whether I want to join them to play football.
02
He asked me, "Does she want to mary me?"
He asked me if/whether she wants to mary her.









c.      5W1H to afirmatif sentence

No
Direct Speech
Indirect Speech
01
He asked me, "why do you come late?"
He asked me why you came late.
02
He asked me, "what does she eat?"
He asked me what she ate.
03
He asked me, "when did you come?"
He asked me when I came.
04
He asked me, "who are you?"
He asked me who I was.
05
He asked me, "who is she?"
He asked me who she was.












2.     Change of Tenses

No
Direct Speech
Indirect Speech
01
Simple Present
Simple Past
02
Present Continuous
Past Continuous
03
Present Future
Past Future
04
Present Perfect
Past Perfect
05
Present Perfect Continuous
Past Perfect Continuous
06
Simple Past
Past Perfect
07
Past Continuous
Past Perfect Continuous









OR

No
Direct Speech
Indirect Speech
01
V1 (eat)
V2 (ate)
02
V2 (ate)
Had + V3 (had eaten)
03
Am/is/are
Was/were
04
Do/does
Did
05
Do/does not
Did not
06
Did not
Had not + V3
07
Was/were
Had been
08
Am/is/are + V-ing
Was/were + V-ing
09
Was/were +V-ing
Had been + V-ing
10
Has/have + V3
Had + V3
11
Will/shall/can/may/must
Would/should/could/might/had to
12
Could/might/should/would + V1/be
Could/might/should/would + have+ V3/been
















3.     Change of Pronoun
a.     (I dan We)  change to Subject in reproted speech.

No
Direct Speech
Indirect Speech
01
He said, ‘I am busy.’
He said that he was busy.
02
She said, ‘I am unwell.’
She said that she was unwell.
03
I said, ‘I will be late.’
I said that I would be late.
04
They said, ‘We will not permit this.’
They said that they would not permit that.
05
We said, ‘We need to buy some clothes.’
We said that we needed to buy some clothes.

b.    (You) change to objeck in reported speech.
No
Direct Speech
Indirect Speech
01
He said to me, ‘You have to come with me.’
He told me that I had to go with him.
02
She said to me, ‘You can go.’
She told me that I could go.
03
She said to him, ‘You can go.’
She told him that he could go.
c.      (He, she, it dan they) not change
No
Direct Speech
Indirect Speech
01
He said, ‘She is a good girl.’
He said that she was a good girl.
02
She said, ‘They have invited us.’
She said that they had invited them.
03
They said, ‘He does not have the necessary qualifications.’
They said that he did not have the necessary qualifications.

d.    Change Of Adverb of Time and Place

No
Direct Speech
Indirect Speech
01
Now
Then
02
To day
That day
03
Tomorrow
The next day
The day after
The following day
A day later
04
Next ...
The ... after
The following ...
05
Last ...
The ... before
The Previous ...
06
... ago
... before
... earlier
07
Yesterday
The day before
The previous day
The preceeding day
08
The day before yesterday
Two day before
09
Here
There
10
This
That
11
These
Those

Sumber:  http://www.learnenglish.de/grammar/reportedspeech.html